Posted by: beibitta | May 29, 2010

kejadian di bis

Tak semudah yang di bayangkan

“pasar….. pasar… stasiun… stasiun….. kampus… kampus…”. Seperti yang kita tahu dengan teriakanlah pak kondektur mengundang calon penumpangnya, agar mereka mengetahui dengan menaiki bus tersebut tempat tujuannya dapat tercapai. Sesekali pak kondektur mengusap keringatnya yang mengucur karena cuaca sedang panas. “ pasar… pasar… “ teriakan sang kondektur yang mengingatkan pada penumpang. Lalu nenek yang duduk disamping depan saya tampak mempersiapkan diri untuk turun “ Dek, kiri…. kiri…” nenek tersebut meneriaki pak supir, agar menghentikan laju bisnya.

Ketika ada tiga penumpang nenek yang membawa barang bawaan yang banyak. Tentunya tugas pak kondektur membantu memasukkan barang- barang milik  penumpang tersebut. Kemudian jika pak kondektur telah menyelesaikan tugasnya tentunya dia harus memberi kode pada sang supir. Jika anda mencoba sekali- kali menaiki bus, pasti anda akan mendengar kode sang kondektur pada sang supir dengan mengucapkan ”anggur…anggur…..” itulah yang anda dengarkan ketika ada penumpang yang berusia lanjut naik maupun turun. Jika anda amati kerja sang kondektur, pastilah tidak semudah yang anda bayangkan. karena selain harus berteriak- teriak kepada setiap ada orang dipinggir jalan, mengangkat barang- barang penumpang yang kadang sampai berkarung- karung, harus mengingat uang siapakah kembalian yang harus dia berikan, harus memberikan kode ada dimanakah sekarang kita berada, memberikan keyakinan kepada calon penumpang kalau tujuannya bisa sampai dengan menaiki bisnya, memberikan informasi kepada sang supir apakah jalur bus yang sama menyusul busnya atau tidak dan ketika sampai tujuan penumpang dia juga harus menurunkan kembali barang- barang penumpang yang kadang banyak sekali. Tapi tidak semua pak kondektur melakukan hal yang sama seperti yang dibahas. Bahkan ada pak kondektur yang merokok dalam bis, tidak mengembalikan uang kembalian walaupun hanya Rp 500.00, mengambil kesempatan jika ada penumpang wanita  naik maupun turun, dan ketika nenek- nenek mau turun maupun naik tidak dibantu oleh sang kondektur. Ada satu lagi, jika dicium dari baunya. Apakah mungkin pak kondektur  tidak mandi ya ? karena setiap mereka menelusuri isle pasti tercium bau yang kurang sedap.

Ketika sampai SMPN 1 Yogyakarta, pak kondektur berteriak “ panti rapih….. rapih…. mirota…. mirota…”.  Ketiga nenek yang berada di dalam bus bersama saya tampak bersiap- siap untuk turun, dan salah satu nenek mengingatkan kepada pak kondektur untuk membantu menurunkan barang bawaan mereka. Tapi pak kondektur tidak naik lagi ke bis, namun dia menunngu bis memutari wilayah UGM di samping Panti Rapih. Itu  merupakan hal biasa. Selain pak kondektur bisa beristirahat, dia juga bisa mengamati bis jalur 2 lainnya yang masuk wilayah UGM. Sehingga dia dapat mengetahui posisi bisnya diantara bis- bis jalur 2 yang lainnya.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

mengamati box pakaian^^

BOX PAKAIAN DI MATAHARI DAN DI CENTRO

Ketika saya pergi ke Matahari Departement store yang berada di Galeria lantai 4 samping Food Court Shuba. Hal  pertama yang saya lihat adalah box pakaianya. Ketika saya mau melangkah menuju kesana, saya langsung di sambut oleh mbak- mbak SPG, yang barusan saja menyelesaikan tugasnya melipat- lipat pakaian yang  didiskon 50% tersebut. Mungkin karena tadi ada pengunjung yang sedang mengobrak- ngabrik pakaian yang dicarinya. Ketika saya mendekat, yang  saya pikirkan ketika melihat baju tersebut “ Baju-baju kaosnya memang biasa- biasa aja sih modelnya, tapi gambarnya lucu- lucu walaupun agak pasaran. Selain itu harganya juga memang  murah sih , pas buat harga mahasiswa”.

Namun lain lagi ketika saya berada di  Centro  yang berada di amplas lantai 2. Ketika  saya masuk,hal yang saya pikirkan “ Sepi ya…. pengunjungnya”. Lalu saya mendekat ke box pakainnya, sambil melihat- lihat model dan label harganya “ Pantasan pengunjungnya gak seramai di matahari, wong harga bajunya mahal- mahal, padahal juga didiskon. Memang sih mahal, tapi modelnya bagus dan gak pasaran”. Memang berlaku ya “ eneng rega yo eneng rupa”.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

ceritanya sih feature, tapi..

Surutnya Pesona Si Zebra Kini

Jumat pagi sekitar pukul setengah sepuluhan, ku putuskan untuk menyetop angkutan umum jalur zebra di depan gang. Inilah satu-satunya angkutan umum, sebut saja dengan angkot zebra, yang mencapai daerah minomartani. Grogi sekali rasanya menaiki angkot zebra ini untuk pertama kalinya setelah menjadi mahasiswi. Yah, mengendarai motor menjadi pilihanku ketika aku berhasil mendapatkan surat ijin mengemudi. Sejak itu, aku terlena oleh nikmatnya hembusan angin yang mengenai wajahku dikala mengendarai motor. Sungguh tidak terbayangkan pagi ini aku bisa kembali menaiki angkot zebra yang kini telah banyak berubah.

Pagi itu aku menjadi penumpangnya yang pertama. Cukup lama si zebra mendapatkan penumpang berikutnya. Jauh meninggalkan rumahku yang terletak di utara, mulai naiklah satu-persatu penumpang dari berbagai kawasan yang ada di minomartani dan sekitarnya. Tiba-tiba suasana angkot yang tadinya sepi menjadi sedikit meriah akibat teriakan ibu berjilbab yang duduk di samping pak supir. Ternyata eh ternyata, ibu tadi memanggil wanita berambut sebahu yang hendak menaiki angkot. Tanpa basa-basi ibu tadi duduk bersama ibu berjilbab di kursi depan dan mengobrol dengan asyiknya. Walau tidak mengetahui jelas apa hubungan yang terjalin diantara mereka, dari perbincangan mereka dapat diketahui bahwa mungkin saja mereka hidup bertetangga ataupun telah berkawan lama. Setelah ibu berambut sebahu turun, rupanya ibu berjilbab tidak lantas terdiam tanpa adanya lawan bicara. Seketika, ibu itu mengajak ngobrol supir angkot. Dari situ penumpang lainnya pun tampak berani memulai percakapan dengan orang disampingnya. Interaksi seperti itu sangat wajar terjadi di dalam angkutan umum dalam kota. Apalagi jika angkutan tersebut melewati area perumahan-perumahan. Tak jarang mereka bertemu dengan orang yang dikenalnya di angkutan umum.  Asal tahu saja, tetangga aku ada beberapa juga yang menjadi supir angkot jalur zebra. Dengan begitu, tarif antar tetangga terkadang berlaku.

Setelah aku sadari, ternyata semua penumpang zebra berjenis kelamin perempuan ditambah seorang balita lelaki di dalam angkot tersebut. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Apakah kini para lelaki merasa gengsi menaiki angkutan umum? Belum ada studi kasus yang mengarah kesana. Mungkin saja kaum perempuan jaman sekarang lebih mandiri dan bebas menentukan sikap sehingga ketergantungan terhadap kaum lelaki sudah jauh berkurang. Keadaan pagi itu mengalami beberapa perbedaan kala terik matahari kian menyengat. Siang pukul sebelas lebih seperempatan, tak ada jalan lain selain naik si zebra lagi. Tak membutuhkan waktu lama bagiku mendapatinya. Praktis saja ku duduk di kursi tempatku semula duduk di pagi harinya. Karena dari sudut inilah kita bisa bebas mengamati tingkah laku penumpang angkutan umum. Masih banyak kursi kosong menanti diduduki calon penumpang zebra. Kebetulan aku naik berbarengan dengan seorang siswa yang lebih memilih untuk duduk di depan. Setelah melalui bunderan UGM, naik satu penumpang laki-laki berumur sekitar setengah abad-an yang mengenakan kacamata hitam trendi keluaran masa kini. Ia masuk perlahan sembari dituntun agar langkahnya kokoh menuju kursi kosong disebelah temanku. Saat itu juga ku ketahui bahwa ia adalah seorang tuna netra. Cukup lama kupandangi pria itu dari kepala hingga kaki. Rapih menjadi kata yang cukup tepat untuk menggambarkan keadaannya saat itu. Memakai peci hitam berpadukan kemeja batik dan sepatu hitam model vantovel. Terlihat pula jam tangan berukir menempel di tangan kirinya. Dalam hati aku bertanya, “Bagaimana cara Bapak itu mengetahui arah jarum jamnya mengarah ke angka berapa?” Sedangkan dimana dia akan turun pun belum tentu tahu lokasinya. Setelah larut dalam imajinasi tentang beberapa kemungkinan jawaban akan pertanyaan-pertanyaanku tadi, kurasakan suasana angkot yang sangat sepi. Tanpa suara obrolan para penumpang di dalamnya. Siswa yang masuk bersamaan denganku terlihat sedang serius membaca buku pelajaran. Yang lain sepertinya hanya memikirkan kapan mereka akan turun dari zebra ini. Sepuluh menit berlalu, sampailah aku di depan gang rumahku. Pria tuna netra tadi ternyata turun bersamaku. Setelah sebelumya ia berusaha menelpon seseorang untuk menjemputnya setelah tiba di suatu lokasi. Terlihat bahwa sebenarnya ia kesusahan untuk mengoperasikan sebuah telepon genggam. Ia harus bertanya kesana kemari untuk meminta bantuan. Senangnya hatiku bisa melakukan hal yang baik hari ini dengan membantunya turun dari angkot dan memastikan keadaannya baik-baik saja setelah aku pergi. Aku beritahukan tempat dimana kini ia berdiri. Jadi ketika seseorang menelponnya, bapak itu tidak perlu kesusahan lagi menanyakan lokasi pada orang lain.

Keadaan sewaktu-waktu bisa berubah. Termasuk keadaan angkutan umum sekarang ini. Orang-orang lebih memilih untuk berkendara dengan kendaraan pribadi. Zebra yang telah kunaiki sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, tak lagi berjubelan penumpang. Tarif zebra tampaknya tak lagi bersahabat dengan kantongku. Dulu hanya dengan uang dua ratus rupiah, aku bisa pulang dengan selamat dari SD Ungaran III yang ada di Kota baru. Kini uang tiga ribu rupiah harus rela kukeluarkan untuk bisa sampai samping RS.Panti Rapih. Dihitung-hitung, lebih menguntungkan naik motor ketimbang angkutan umum. Walau begitu sarana transportasi seperti si zebra akan terus bermanfaat bagi orang-orang yang meminatinya. Sesekali naik angkutan umum juga perlu untuk menyehatkan hati kita. Banyak hal-hal baik bermula dari pengalaman yang tak biasa.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

wadz happenin in traffic light ? ?

Aksi Seniman Jalanan

Seminggu ini jadwal perkuliahan belum berjalan sebagaimana mestinya namun entah mengapa selalu saja ada alasan untuk pergi ke kampus. Setiap pagi saya melalui perempatan ring road condong catur ketika akan pergi ke kampus. Sudah sejak tahun lalu saya mengamati keadaan perempatan tersebut. Disana terdapat seniman jalanan yang senantiasa beraksi ketika lampu merah menyala. Mereka mengenakan pakaian tradisional lengkap dengan make-upnya. Tidak lupa diiringi alunan musik tradisional yang dihasilkan dari alat-alat musik yang sederhana.

Saat-saat menunggu nyalanya lampu hijau, kerap terlintas di pikiran saya bagaimanakah persiapan mereka sebelum menari. Dikala tarian selesai mereka tampilkan, mereka pun mulai meminta uang dari satu pengendara ke pengendara lainnya. Itupun tidak semua pengendara memberikan mereka uang. Lalu berapakah uang yang berhasil mereka dapatkan untuk menyambung hidupnya? Bukankah untuk membiayai penampilan mereka,  uang yang dibutuhkan tidak sedikit. Mengingat bahwa harga peralatan kosmetik tidaklah murah. Pemikiran-pemikiran semacam itupun tiba-tiba terhenti ketika pengendara belakang mulai mengklakson saya karena ternyata lampu hijau sudah menyala beberapa waktu yang lalu.

« Newer Posts

Categories