Posted by: beibitta | May 29, 2010

cerpen Seno Gumira Ajidarma

Pelajaran Mengarang

Pelajaran mengarang sudah dimulai.

Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.

Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.

Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.

Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.

Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.

Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.

“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.

***

Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.

“Mama, apakah Sandra punya Papa?”

“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”

Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.

Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.

“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.

Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.

“Anak siapa itu?”

“Marti.”

“Bapaknya?”

“Mana aku tahu!”

Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.

“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”

“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”

Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.

***

Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.

Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.

“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”

Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”

Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.

“Mama kerja apa, sih?”

Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.

Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”

Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.

“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”

“Seperti Mama?”

“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”

Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …

Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.

DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00

Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.

***

Empat puluh menit lewat sudah.

“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.

Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.

Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.

“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.

Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.

Ia  juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.

“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.

Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:

Ibuku seorang pelacur…

Palmerah, 30 November 1991

*) Dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992.  Terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1993.

Sumber : http://sukab.wordpress.com/2008/02/03/pelajaran-mengarang/

Komentar Cerpen “Pelajaran Mengarang”

Karya Seno Gumira Ajidarma

Menurut saya cerpen Pelajaran Mengarang sangat bagus karena menceritakan bagaimana kehidupan anak yang ternyata ibunya seorang pelacur. Yang Kehidupan sehari- harinya penuh dengan makian dari ibunya. Namun dibalik itu semua, ibunya menyayangi anaknya agar menjadi anak yang  lebih baik dari ibunya.

Selain itu, pengarangnya juga mampu memberikan banyak hal tentang  nasib kehidupan seorang anak yang ibunya seorang pelacur. Cerpen ini juga seperti mengajak kita untuk melihat seorang anak yang tegar, tabah, dan berani dalam mengahadapi kehidupannya. Dan ada pula pesan moral yang bisa  ditangkap, untuk para pendidik agar jangan terlalu membatasi seorang anak untuk menentukan apa yang harus dikarang.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

cerpen SGA yang lain

Posted on 3 Agustus, 2007 by sukab

ANAK ANAK LANGIT

Anak-anak itu tidak dilahirkan oleh seorang ibu, mereka dilahirkan oleh rahim kemiskinan. Begitu lahir mereka langsung berumur 3,5,8, atau 12 tahun. Pada saat malam gelap gulita, tanpa sepotong bulan pun dilangit, mereka muncul ke jalan raya, merayap dari dalam gorong-gorong yang berbau serba busuk dengan tubuh penuh lumpur.
Mula-mula merayap, lantas merangkak, kemudian berdiri, langsung mengulurkan tangan di perempatan jalan. Dari dalam lobang gorong-gorong itu muncul banyak sekali anak-anak kecil. Tangan mereka menguak dari dalam lobang, menyingkirkan tutup gorong-gorong dari besi, lantas melata dengan tubuh masih penuh lumpur yang menetes-netes ke aspal. Anak-anak kecilyang manis, anak-anak kecil yang matanya manis, cemerlang bak bintang kejora, tapi yang pelupuk matanya tetap saja layu. Dengan Lumpur yang mengerting dan menjadi daki yang melekat bertahun-tahun, mereka menengadahkan tangannya ke kaca-kaca jendela mobil tanpa harapan mendapatkan apapun.

Mereka mengulurkan tangan sambil mengulurkan tangan sambil mengkuyu-kuyukan wajahnya. Kadang-kadang mereka bertepuk tangan dengan mulut seolah-olah bernyanyi padahal tidak karena memang hanya mangap-mangap tanpa suara karena toh para pengemudi mobil itu tidak akan mendengar suara mereka sedangkan kalau mendengar pun juga tidak akan pernah menganggapnya indah meski hanya untuk secuil saja dari
keindahan sebuah suara yang bisa disebut indah walah mata anak-anak itu tetap saja indah seindah pada saat ketika dilahirkan dimana mereka langsung jadi pengemis yang penuh dengan tipu daya akal bulus supaya dikasihani namun mata mereka tetap mata yang murni seperti mata-mata anak-anak mana pun di seluruh pelosok bumiyang selalu memikat karena anak-anak di mana pun memang selalu murni tak peduli kelak ketika
sudah dewasa mereka akan jadi bajingan yang paling tengik paling norak paling kampungan paling busuk dan paling tidak tahu diri.

Orang-orang di dalam mobil yang memenuhi jalan itu esoknya tidak pernah tahu darimana anak-anak itu berasal. Mereka tiba-tiba saja berada di sana dengan tubuh penuh Lumpur, mengulurkan tangan meminta-minta dengan mata menghiba-hiba tapi yang tetap kelihatan hanya berpura-pura karena apabila lampu merah menjadi hijau dan mobil-mobil melaju kembali secepat kilat seperti ingin meninggalkan kenyataan anak-anak itu kembali saling bercanda dan bermain tali berguling-gulingan bagai berada di taman impian bagai berada di taman raja-raja bagai anak-anak pangeran padahal tak lebih dan tak kurang
mereka hanya berada di sebuah petak semen yang tak juga mulus malah jebol-jebol di mana lampu hijau itu berganti merah kembali.

Orang-orang di dalam mobil sudah kehabisan rasa kasihan melihat anak-anak itu. Orang-orang di dalam mobil meluncurkan kalimat-kalimat cerdas yang membenarkan bahwa tak baik mendidik anak-anak itu menjadi pengemis sambil mengeraskan volume CD Player yang melantunkan suara seorang penyanyi opera, “Quando me’n vo soletta,” sementara
anak-anak yang memukul terban dan kecrekan bikinan sendiri dari tutup-tutup botol yang dipakukan ke kayu memandang ke balik kaca dengan lapisan film-hitam 60% melihat betapa penumpang di jok belakang itu sama selali tidak menoleh dan hanya terus menerus membaca majalah The Economist.

Pada siang hari lumpur di tubuh mereka memang mongering, rontok, tapi tetap menyisakan daki yang menghitam di kulit mereka, melumut dan menghitam bagaikan tiada pernah akan hilang seperti takdir yang telah mematok nasib mereka di jalanan itu tak bisa diubah-ubah lagi meskipun mereka bisa mandi seratus kali sehari di sungai itu, sungai yang airnya mengalir pelan-pelan saja yang airnya hitam bercampur minyak dan oli hitan legam entah dari mana, mengalir pelan-pelan dengan plastik atau mayat menggenang terseok-seok tiada yang akan peduli sampai membusuk seperti bangkai kucing yang perutnya menggembung-bung-bung entah siapa dia – entah siapa dia betapa
kesepian mati sendiri tidak terkubur tidak terupacarakan meski barangkali lebih baik mati dan terbebaskan dari kesunyian jalanan yang begitu ramai tapi tiada seorangpun dari orang-orang di dalam mobil yang mampu menghayati penderitaan meski Cuma secuil karena mereka memang berusaha menghindarinya berusaha lepas lari tak ingin tak tahu
tak ingin mengerti tak sudi menatap kemiskina yang begitu kelam tapi begitu nyata tampil hadir di depan mereka mengulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba diiringi wajah lain yang menyanyi-nyanyi tak jelas sambil menepuk-nepuk tangan.

Dari balik kaca jendela dengan lapisan film-hitam 60% dan sejuk udara AC yang membuat suhu diluar semakin panas, nampak jelas anak-anak berambut merah dengan baju dekil berlubang-lubang berjalan dari satu jendela ke jendela lain tanpa terlalu banyak berharap seolah-olah mereka tidak betul-betul terlalu lapar dan hanya menjalankan peran
mereka sebagai anak-anak jalanan yang getir yang akan terus menerus berada di sana karena harus selalu ada peran itu di dunia ini karena betapa ajaib jika di dunia ini tidak ada penderitaan tidak ada kegetiran atau apapun yang membuat kebahagiaan menjadi istimewa.

Tapi kenapa anak-anak itu nampak bahagia? Mata mereka cemerlang seperti bintang kejora. Wajah mereka murni dan tanpa dosa, sampai tiba saatnya mereka merambah suatu keadaan di mana anak laki-laki akan membayar pelacur yang termurah di bawah jembatan pada umur 12 tahun dan anak perempuan akan menjadi pelacur juga pada umur 12 tahun. Hidup memberi pelajaran pada umur 12 tahun. Hidup memberi pelajaran kepada anak-anak perempuan bagaimana memanfaatkan tubuhnya dari hari ke hari
dari tahun ke tahun sampai tubuh itu tak bisa dimanfaatkan lagi menjadi rongsokan di bawah jembatan laying ditemukan orang sebagai mayat gelandangan yang sangat bisa berguna untuk dibedah dan di potong-potong sebagai bahan pelajaran mahasiswa Kedokteran. Tengkorak mereka diawetkan, jantung mereka di masukkan stoples, dan suatu saat para mahasiswa itu akan menjadi kaya raya karena pengetuan mereka
tentang susunan urat syaraf, otot, kelenjar, dan segala macam jeroan yang contohnya diambil dari mayat perempuan tak dikenal yang barangkali saja pelacur murahan terbuang yang dulunya berasal dari dalam gorong-gorong.

Di dalam gorong-gorong yang gelap, suram dan berbau bacin, anak-anak yang menunggu untuk keluar duduk berjajar-jajar menanti giliran. Mereka akan selalu ada di sana, tidak bisa dihapuskan dan di lenyapkan, makin hari malah makin banyak bermunculan dari setiap lobang gorong-gorong di seluruh kota. Begitu muncul mereka langsung
mengulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba, mereka memberi tanda betapa mereka butuh uang untuk makan hari itu saja, seolah-olah mereka, seolah-olah mereka tidak tahu bahwa mereka memang dilahirkan supaya merasa lapar, supaya menjadi pengemis, supaya menjadi bukti bahwa kemiskinan itu ada. Mereka tetap mengulurkan tangan dari satu jendela ke jendela lain sambil mencoba menengok ke dalam mobil yang berlampu diamana orang-orang membaca Koran Asian Wallstreet Journal dengan penuh keluh dan penuh kesah karena perdagangan telah menjadi sulit dan membuat utang mereka makin membengkak. Menurut kalkulasi para akuntan, mereka jauh lebih miskin dari para pengemis di luar itu, yang meski begitu busuk, hina, dan buruk rupa, sama sekali tidak punya utang. Satu sen pun tidak. Mereka menghela nafas. Hidup begitu berat, pikir mereka. Sebagai hiburan, mereka mengubah mobilnya jadi gedung opera. Dengarlah Monserrat Caballe berkumandang, “Spira sul mare esulla terra.”

* * *

Aku memikirkan semua itu sambil memandang mega-mega. Hamparan lautan kapas memutih bagaikan surga kanak-kanak yang terindah. Dari balik jendela pesawat terbang, matahari memang menjadi lain, cahayanya jatuh dengan lembut, keungu-unguan, keemas-emasan, kemerah-merahan, menyepuh bantalan mega-mega yang seolah begitu empuk dan begitu membahagiakan. Pramugari memintaku memilih minuman, dan aku memilih anggur putih dengan nama yang sulit diucapkan. Setidaknya cocok untuk
menyantap ikan dengan pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kiri, dengan serbet di leher, gaya makan orang-orang beradab, sambil menatap awan gemawan yang berwarna selembut yoghurt, terbentang tanpa batas, sungguh suatu pemandangan impian. Di telingaku terpasang headphone, membawaku ke gedung La Scala di Milan. Kudengar Placido Domingo bernyanyi, “L’alba vindice appar.”. Menoleh lagi ke jendela, suaranya
bagaikan berada di langit itu. Seolah-olah ia berada di sana, dengan penonton yang duduk meluruskan kaki di antara mega-mega.

Mengembara di antara awan memberikan perasaan betapa dunia ini begitu luas. Dikau bisa melompat berlari dari bantalan mega yang satu ke mega yang lain. Bisa juga membayangkan diri menunggang seekor kuda terbang, atau Lembu Andini, keluar masuk celah awan yang gemilang dalam perubahan warna yang tak tertahan dari saat ke saat, dari pesona ke pesona, dari dunia ke dunia. Langit tak pernah sama dengan bumi.
Setiap lapis yang ditembus memberikan makna dan cerita lain.

Menjelajah langit adalah mengarungi dunia cerita yang serba membentang serba menghampar dan serba menjanjikan adanya sesuatu yang lebih menarik di balik awan. Kulihat juga dirimu mengelus kucing itu, seperti seorang dewi yang berkelebat dari mimpi ke mimpi, dari sana ke sini, terlihat sebentar lantas menghilang lagi.

”E lucevan lestele.”. Apakah kamu masih mendengarkan Puccini? Aku masih di dalam pesawat duduk diikat sabuk pengaman, menyantap makanan beradab. Langit yang ungu bersepuh merah. Kutenggak anggur putih. Lantas bersendawa. Ikan salmon yang ku telan menyublim ke udara.

Pramugari mengambil baki. Tak kulihat lagi kamu di luar jendela itu. Kemanakah kamu? Apakah kamu masih menemui aku nanti di bumi? Aku sudah terlalu biasa dengan perpisahan – semuanya selalu berakhir seperti itu. “Tutto e fenito.”. Selalu menyedihkan untuk menyadari, bahwa setiap pertemuan dalam dirinya sudah mengandung perpisahan. Awan merekah. Cahaya mengalir seperti sungai. Pesawat terbang menjadi perahu. Mega-mega bagaikan busa sabun yang mengapung. Kemudian dari balik awan mega-mega yang terbentang seperti lautan kapas menyembul anak-anak itu.

Anak-anak dengan tubuh penuh lumpur membumbung langsung dari gorong-gorong menembus mega dan mengulurkan tangannya di jendela pesawat terbang. Aku terperangah. Kulepaskan headphone. Apakah ini Cuma khayalanku? Ternyata tidak, karena para penumpang juga menjadi gempar. Di setiap jendela disisi kiri maupun kanan muncul satu, dua, sampai tiga anan yang menjulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba dan mata yang dikuyu-kuyukan, nampak sekali berpura-pura, sedangkan yang lain menepuk-nepukkan kerecekan dengan mulut mangap-mangap tak jelas menyanyi lagu apa, darimana pula anak-anak itu tahu sebuah lagu, kalalu tahu pun sudah pasti bukan opera, dan anak yang lain lagi seperti biasa hanya bermodal tepuk-tepukan tangan dengan mata yang tidak terlalu berharap karena sudah terlalu biasa menerima lambaian penolakan.

Para penumpang yang duduk di bagian tengah berebutan melepaskan sabuk pengaman dan berlompatan ke sisi kiri atau kanan jendela. Sebagian dengan cepat segera memotret dan merekamnya dengan kamera video. Para pramugari yang biasanya tegas mengatur tata tertib kini ikut histeris malah tanpa malu-malu melompati penumpang supaya bisa melongok ke jendela. Ajaib. Anak-anak dari kolong bumi yang hanya pantas hidup
dalam kekelaman dan hanya pantas hidup dalam penderitaan kini menembus mega-mega, menembus awan gemawan yang tebal melanjutkan kepengemisannya. Anak-anak itu bertebaran sepanjang langit, beterbangan kian kemari membawa terban, kercekan, atau hanya menepuk-nepukkan tangan, mengemis kepada setiap pesawat terbang yang
lalu lalang di atmosfir bumi. Mereka membubung langsung dari gorong-gorong yang bagai tiada habisnya terus menerus memuntahkan anak-anak bersimbah lumpur, membumbung langsung ke langit ke arah pesawat terbang dan mengulurkan tangan ke jendela-jendelanya. Di muka bumi anak-anak itu mengulurkan tangan dengan pandangan mata tahu bahwa akan ditolak. “Kami mengemis bukan karena butuh uang,” kata mata itu, “kami mengemis karena kami memang dilahirkan sebagai pengemis.” Maka anak-anak membumbung langsung dari gorong-gorong ke jendela setiap pesawat tanpa mengharap suatu ketika jendela itu akan dibuka dan akan menerima uang logam seratus atau dua ratus rupiah. Lagipula, mana mungkin jendela pesawat dibuka untuk memberi mereka sedekah?

Di langit yang senja, keindahan membentang bagaikan lautan syurgawi. Atap langit berkilau-kilau karena matahari yang lain. Para penumpang di dalam pesawat terbang terperangah oleh suara takbir dari langit yang menembus begitu halus ke badan pesawat. Di jendela, anak-anak yang berlumpur dengan mata yang murni itu menatap kami, dari dalam pesawat kami menatap mata anak-anak itu. Kemiskinan macam apakah kiranya yang tiada mungkin tertolong lagi dan kekayaan macam apakah kiranya yang tak pernah mungkin mengubah kemiskinan itu?

Dalam iringan takbir di langit yang menenggelamkan opera duniawi manapun, anak-anak itu membubung ke atas, melanjutkan perjalanannya. Kucoba menengok ke atas dan hanya kulihat berkas-berkas cahaya berkilauan.

Vancouver – Los Angeles, Februari 1999.

Dipublikasikan pertama kali dalam Kumpulan Cerpen: Iblis Tidak Pernah
Mati. Penerbit Bentang, 1999.

http://sukab.wordpress.com/2007/08/03/anak-anak-langit/

*** Setelah membaca cerpen SAG diatas, sedikitnya saya sudah mengerti tentang isi cerpen yang menceritakan kehidupan anak jalanan yang sedari lahir hingga maut menjemputnya ini berprofesi sebagai pengemis. SAG mengisahkan keadaan yang sebenarnya banyak terlihat di dunia nyata namun seringkali kita abaikan. Terdapat beberapa kata maupun frase yang diulang-ulang. Kemungkinan hal ini dilakukannya agar pembaca mampu menangkap kesan yang ingin dicitrakan penulis. Menuju akhir bagian cerpen ini saya sedikit dibingungkan dengan penulisannya yang sedikit mengada-ada dengan menceritakan pengemis yang tidak hanya mengemis di daratan tetapi di udara juga. Terlepas dari kebingungan tersebut, disinilah letak pembaca dibiarkan bebas mengimajikan gambaran yang diberikan penulis. Sehingga cerpen ini bisa dikatakan multi-intrepretasi, yang menyebabkan antara satu pembaca dengan yang lain memiliki pandangan tersendiri yang tidak dapat diseragamkan.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

Sepotong Senja Untuk Pacarku

Karya Seno Gumira Ajidarma

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993

Sumber : http://sukab.wordpress.com/2007/05/31/sepotong-senja-untuk-pacarku/

Komentar Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku”

Karya Seno Gumira Ajidarma

Menurut saya isi novel ini terlalu lebay dan terlalu berbelit- belit. Hanya karena ingin memberikan sepotong senja untuk pacarnya.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

Resensi Film

Sherlock Holmes Movie

Judul Film            :  Sherlock Holmes

Genre                   :  Drama/adventure

Sutradara            :  Guy Ritchie

Penulis Naskah  : Michael Robert Johnson dan Anthony Peckham.

Tahun                   :  2009

Durasi   Film        :  139 menit

Pemain                 : Robert Downey J.R (Sherlock Holmes), Jude Law (DR. John Watson), Rachell            Mcadams (Irene Adler), Mark Strong  (Lord Blackwood), Eddie Marsan (Inspector Lestrade), Kelly relly (Mary Morsitan), Geraldine James (Mrs. Hudson).

Sherlock Holmes adalah tokoh fiktif karya novelis Inggris. Arthur Conan Doyle. Sherlock Holmes, seorang detektif swasta terkenal di Inggris, yang sering menangani kasus-kasus rumit dengan logikanya. Yang dibantu oleh sahabatnya, Dr. John Watson.  Mereka adalah tim yang tak terkalahkan.

Film ini menceritakan tentang terbongkarnya  aliran hitam yang diketuai oleh Lord Blackwood. Aliran hitam ini, dibongkar oleh Sherlock Holmes bersama rekannya  seorang dokter, John Watson. Sehingga menggiringnya ke tiang gantungan, namun Kekalahan penjahat kelas kakap ini menimbulkan dendam yang membara. Lord Blackwood tidak bisa menerima kekalahannya dan ketika menjelang hari kematiannya ia bersumpah akan balas dendam kepada Sherlock Holmes.

Hukuman gantungpun sudah dijalani, Watson sebagai dokter telah memastikan bahwa Blackwood telah meninggal. Namun tiba-tiba, publik London dihebohkan dengan kabar bahwa Blackwood bangkit dari kubur. Serangkaian kasuspun mulai bermunculan. Benarkah Blackwood telah telah bangkit dari kuburannya? Inilah tantangan bagi Holmes  untuk menemukan misteri dibalik kasus tersebut. Watson yang pada awalnya menolak untuk melanjutkan kasus ini pun, akhirnya mau. Demi  mempertaruhkan reputasinya sebagai seorang dokter yang sudah dipercayai oleh parlemen Inggris.

Film karya Guy Ritchie ini  layak diacungi jempol karena tidak  mudah membangkitkan legenda detektif lama ini, tanpa memberinya penafsiran baru. Selain itu, setting London tahun 1891 nampak nyata. Sedangkan  para pemainnya tidak perlu diragukan lagi, Robert Downey, Jr. dan Jude Law yang sudah lama merambah dunia perfilman di Hollywood. Rachel Mcadams, sebagai Irene Adler, juga berhasil memukau penonton dengan gaya yang serius tapi santai sebagai kekasih Sherlock Holmes.  Namun diakhir film penonton dibuat penasaran. Pasalnya kasus justru masih berlanjut. Sehingga kemungkinan adanya sekuel selanjutnya dari film tersebut.

Secara keseluruhan film ‘Sherlock Holmes’ pantas ditonton. Apalagi bagi Anda penyuka film yang penuh dengan teka-teki. Meski begitu, jalan cerita ‘Sherlock Holmes’ tidak terlalu rumit karena diselingi dengan adegan humor. Dari film tersebut kita dapat menambah pengetahuan yang diberikan, serta mengajarkan kita untuk selalu waspada terhadap sesuatu yang bisa membahayakan diri kita.

Kalau diberi  tanda bintang, saya kasih bintang lima (dibakal anda tidak akan menyesal)

Posted by: beibitta | May 29, 2010

pendapat tentang cerpen karya Seno Gumira Ajidarma

Sepotong Senja Untuk Pacarku

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993

http://sukab.wordpress.com/2007/05/31/sepotong-senja-untuk-pacarku/

>>>

Disini saya sebagai kelompok yang apatis terhadap cerpennya masuk ke kelompok yang menilai dari segi bahasanya. Menurut saya bahasanya sering dijumpai akan tetapi pemaknaannya jurang bisa dipahami sebagaimana jika kita membaca chiklit ataupun cerpen-cerpen pada umumnya. Oleh karena itu, kami kurang menyukainya.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

Film Banlieue 13 Ultimatum

RESENSI FILM

“B13-U”

Sutradara        : Luc Besson

Pemain            : Cyril Raffaelli sebagai Damien dan    David Belle sebagai Leito

Genre              : Aksi

Durasi              : 101 menit

Rating              : 4/5

Di Perancis, terdapat sebuah sektor yang bisa dibilang gudangnya pelaku kriminal yaitu sektor 13. Disana terdiri dari beberapa kelompok etnis yang memegang peranan penting sektor tersebut. Suatu ketika Leit (David Belle) didatangi pemuda yang menyerahkan sebuah memori kamera dan memintanya untuk memfilmkannya. Nasib pemuda ini menjadi kurang beruntung karena harus berhadapan dengan agen khusus pemerintah, DISS. Dari memori tersebut diketahui bahwa agen DISS ini bukanlah agen yang memihak warga sektor 13. Ternyata mereka adalah agen khusus pemerintah yang memiliki misi menghancurkan sektor 13 dan menjadikannya daerah baru yang bisa dikembangkan untuk kepentingan golongan. Leito bersama Damien (Cyril Raffaelli), seorang kepala polisi sektor 13, mereka berniat untuk menemui orang nomer satu Perancis dan memperlihatkan video tersebut. Keadaan di sektor 13 kian memburuk dan menuntut mereka berdua untuk bergerak cepat. Demi keberhasilan misi tersebut mereka berdua harus bisa meyakinkan para petinggi kelompok etnis yang ada di sektor tersebut untuk bekerja sama.

Film yang rilis pada tanggal 18 Februari 2009 ini secara garis besar memiliki tujuan untuk menduniakan olahraga parkour. Di awal film sudah terlihat adegan Leito yang meloloskan diri dari kejaran polisi setempat. Selanjutnya pun adegan pertarungan satu melawan banyak orang ditampilkan dengan sangat menarik dan mampu membawa penonton di dalam posisi yang menegangkan. Sayangnya, teks subtitle yang ada masih kurang baik. Karena banyak obrolan mereka yang luput diterjemahkan. Film ini juga terkesan memberi gambaran bahwa suatu etnis identik dengan perilaku kriminal yang benyak membahayakan orang lain. Padahal kesan tersebut bisa diminimalisir agar tidak menyinggung penonton dari salah satu etnis tersebut. Dari film aksi ini dapat kita petik pelajaran bahwa jangan cepat memberi kepercayaan pada orang yang terdekat sekalipun. Belum tentu mereka memiliki satu tujuan yang sama dengan kita.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

perjuangan tiga sahabat

3 Idiots, Kisah Persahabatan Tiga Mahasiswa

8 January, 2010 – 10:55

3 Idiots – “Hidup adalah sebuah perlombaan, jika Anda tidak cukup cepat, maka Anda akan diinjak-injak,” begitulah pesan rektor Viru Sahastrabudhhe (boman Irani) saat menyambut para mahasiswa baru di kampus ICE.

Di India 2.0, ada sebuah tradisi bahwa setiap anak yang baru lahir akan langsung dicap untuk memiliki status.

Jika anak laki-laki, maka ia harus menjadi insinyur, sementara jika anak perempuan maka harus menjadi seorang dokter.

Taruhannya sangat tinggi, siswa yang orangtuanya mengorbankan segalanya untuk pendidikan, diharapkan mencapai puncak kesuksesan.

Sayangnya, ada tiga siswa cerdas yakni Farhan (R. Madhavan), Raju (Sharman Joshi) dan Rancho (Aamir Khan) yang menyadari bahwa masa depan mereka tidak benar-benar tertulis dalam buku-buku teknik. Yang lebih penting justru mengejar mimpi.

Viru sendiri merupakan rektor yang ortodoks, kolot, keras kepala, tak punya belas kasihan. Alhasil, ia jadi musuh bersama.

Di tambah lagi dengan keberadaan Chatur Ramalingam, yang menyebalkan dan menghalalkan beragam cara untuk menjadi nomor satu di kampus.

Dalam satu kesempatan, Chatur dipermalukan Rancho di depan Viru dan teman-teman sekampusnya. Alhasil, Chatur menantang tak cuma Rancho tapi juga Farhan dan Raju bahwa 10 tahun ke depan, ia akan lebih sukses di banding mereka.

Chatur benar, ia memang lebih sukses dari Raju dan farhan. Hanya saja tidak diketahui nasib Rancho. Chatur, Raju dan Farhan pun mencari keberadaan Rancho yang dianggap sebagai mahasiswa luar biasa di kampus.

Mereka menemukan Rancho, tapi bukan Rancho teman kuliah. Mereka justru menemukan Racnhso yang tinggal di puncak gunung dengan menjadi gutu bagi anak-anak kecil.

Chatur merasa menang. Tapi ia tidak tahu, ada hal lain yang luar biasa yang tidak ia sadari.

Secara keseluruhan, daya tarik film ini adalah penampilan Aamir Khan. Kendati sudah berusia 44 tahun, tapi ia dipercaya untuk memerankan karakter mahasiswa.

Bukan itu saja, karakternya sangat berbobot untuk seorang mahasiswa pemberontak tapi pintar serta memutuskan menjadi seorang guru bagi anak-anak di Taare Zameen Par.

Film karya sutradara Rajkumar Hirani ini boleh dikatakan penuh dengan pesan moral, terutama di dunia pendidikan. Karena secara sosial, kultural, ekonomi, filosofi pendidikan menghadapi problem yang sama dan nyata seperti digambarkan di film.

Namun begitu, benang merah yang tak boleh dilupakan adalah teman bisa menjadi sangat berharga ketika mereka mampu mendorong Anda menuju potensi yang lebih besar.

Masih memiliki ciri khas India, Rajkumar dengan apik menata alur cerita. Mulai dari keceriaan, persahabatan, haru biru serta bumbu cinta. Jangan lupakan nyanyian dan tarian. Kurang lebih selama tiga jam, penonton diajak enggan untuk beranjak dari tempat duduk.

Ada baiknya, jika sebelum menonton, Anda menyiapkan saputangan untuk menyeka airmata yang menetes. Tidak cuma sekali, ada beberapa kali adegan yang akan membuat Anda hanyut dalam cerita.

Perlu diketahui, sang sutradara dengan sengaja membawa penonton untuk melompati waktu baik maju dan mundur selama 10 tahun.

Walau mampu membuat penonton sedikit bingung, tapi ada jaminan Anda akan tersenyum puas dan kalimat “All is well” akan melekat pada diri Anda.

Diputar di jaringan Blitzmegaplex, sebenarnya film ini sudah diputar selama dua pekan. Namun melihat respon dan sambutan yang baik, Raam Punjabi dari Multivision mengajak para mahasiswa termasuk media untuk nonton bareng.

“Film ini sudah diputar sejak pertengahan Desember dan disambut baik. Tidak hanya di Indonesia, film ini juga menuai kesuksesan di Bollywood,” jelas Raam Punjabi saat ditemui di Blitzmegaplex, Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (6/1).

Sumber : astaga.com

Meresensi Resensi Film

Menurut saya, dengan bahasa yang sederhana peresensi film tersebut sangat detail dalam meresensi film. Mulai dari informasi siapa sutradaranya, pemainnya, tahun pembuatan filmnya, durasi filmnya, latar belakang film, alur cerita, pesan moral film,  dan ringkasan cerita film 3 Idiots. Peresensi juga tidak lupa mencantumkan  pendapat responden yang sudah menonton film tersebut dan tidak lupa peresensi juga memberikan saran kepada pembaca sebelum menonton.

Namun peresensi dalam meresensi film 3 Idiots sedikit membingungkan pembaca dalam penulisan. karena ada beberapa tulisan yang salah (lihatlah tulisan yang digaris bawahi).

Pendapat saya, secara keseluruhan resensi film tersebut bagus. Sehingga para pembaca tertarik untuk menonton film tersebut.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

‘perjuangan’

SANG PEJUANG LOTEK

Dipersimpangan gang, nampak seorang ibu yang tengah sibuk mempersiapkan barang dagangannya, diwarung samping rumahnya. Dengan tomat, timun, kol, ketupat dan kerupuk satu per satu ia menatanya, agar nampak menarik oleh pejalan yang kebetulan lewat untuk mencari makan. Sedangkan sayuran bayam, kacang panjang, touge, dan kenikir  yang sudah direbus ia tata di nampan kalo. Ada juga bahan bumbu- bumbunya, seperti cabe, bawang putih, garam, daun jeruk purut, kencur, gula jawa, terasi, air asam dan tidak lupa kacang goreng yang sudah dipersiapkan ditoples. Di warung kecil itulah ia mencari nafkah untuk membantu sang suami, memenuhi kebutuhan keluarga sehari- hari. Yang penghasilannya kurang untuk mencukupi tanggungan keluarga yang banyak.

Belum ada pelanggan saja Bu mami sudah mengucurkan keringat. Itu karena hanya ia seorang yang mempersiapkan barang dagangannya. Sejenak ia nampak duduk untuk istirahat sambil menunggu pelanggan. Kemudian ada seorang ibu yang datang dengan membawa dua piring yang ditumpuk. “Bu, kulo mesen loro cabene setunggal mawon” kata ibu sang pembeli. Lalu dengan terlatihnya Bu mami mengambil bahan bumbu cabe 1, kencur sedikit, garam, bawang putih, daun jeruk purut, dan terasi. Dengan cara ulekkan yang mantap, bumbu yang tadi dimasukkan dalam cuek menjadi halus. kemudian ia masukkan gula jawa, disusul kacang goreng. Setelah itu bumbunya siap untuk dicampur dengan sayur- mayurnya.

Sayur bayam, kacang panjang, touge yang sudah direbus dimasukkan dalam adonan bumbu. Kemudian disusul kenikir, kol, timun, tomat dan dua bungkus ketupat yang sudah dipotong- potong. Setelah itu diaduk perlahan- lahan, agar semua bumbu tercampur dengan sayur-mayurnya. Karena rata- rata pelanggannya warga sekitar rumahnya, ia sesekali mengobrol sembari membuat lotek. Nampak jelas sekali diwajahnya yang sudah separuh baya, melakukan hal itu dijalaninya dengan senang hati. Karena dengan begitulah ia merasa nyaman dengan apa yang dilakukannya.

Dua piring disiapkan kemudian adonan lotek yang sudah dicampur di bagi dua, tak lupa kerupuk ditaburkan dimasing- masing piring . Sang pembeli kemudian memberikan uang Rp 10.000.00, kemudian Bu mami mengembalikan Rp 3.000.00 kepada sang pembeli. Dengan  porsi yang cukup banyak dan rasa yang tak kalah enaknya. Menurut saya itu harga yang murah, untuk mendapatkan makanan yang kaya akan serat dan vitamin. Tapi  Bukankah sayur- mayur mahal ?  mungkin, ia tidak berani menaikkan harga yang tinggi karena ia takut tidak ada pelangganya apalagi ia membuka warung kampung (warung yang ada di kampung) di dekat rumahnya. Kalau begitu ia mendapatkan untung berapa dari penjualannya sehari? Padahal belum tentu semuanya habis, apalagi sayur- mayur yang sudah direbus tidak dapat bertahan lama hingga esok harinya.  Dengan begitukah sang pejuang lotek menyambung hidupnya???.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

meresensi resensi film

Mr. Kim vs Mr. Kim vs Mr. Kim


Rating : 5 / 5

Genre : Comedy / Action

Director : PARK Seong-Kyun

Pemain : SHIN Yun-Jun, CHOI Sung-Gook, KWON Oh-Jung, OH Seong-Hyun

Di sebuah daerah di Korea, terdapat dua ahli bela diri yang saling bersaing, yaitu Mr. Kim ahli Taekkyon (SHIN Yun-Jun) dan Mr. Kim ahli Kendo (CHOI Sung-Gook). Walaupun sering bertengkar, sebenarnya mereka berdua adalah teman akrab. Lalu suatu saat datang seorang ahli bela diri baru, yaitu Mr. Kim Sukho (KWON Oh-Jung), ahli Wu Shu. Jadi terdapat 3 Mr. Kim di kota tersebut. Karena kedatangan ahli Wu Shu tersebut, perguruan Taekkyon dan Kendo menjadi sepi karena semua muridnya pindah ke perguruan Wu Shu. Merasa tersaingi, Mr. Kim ahli Taekkyon dan Mr. Kim ahli Kendo selalu memperhatikan gerak gerik dari Mr. Kim ahli Wu Shu.Ternyata selain bersaing dalam hal bela diri, ketiga guru tersebut juga bersaing dalam merebut hati Yeonshil (OH Sheong-Hyun) yang merupakan anak dari pemilik restoran yang ada di daerah tersebut.

Karena kesalahan dari Mr. Kim ahli Taekkyon sebuah kelompok gangster di daerah tersebut menjadi marah dan mengirimkan utusan untuk mengusir warga tersebut, yaitu Triplet. Dan disinilah saatnya ahli-ahli beladiri tersebut beraksi melawan Triplet dan anak buahnya. Para Mr. Kim akhirnya bersatu melawan kelompok penjahat.

Film ini bergenre Action Comedy. Dengan adanya SHIN Yun-Jun dalam film ini membuat daya tarik tersendiri. SHIN Yun-Jun sudah cukup sering bermain dalam film komedi Korea, trilogi Marrying The Mafia dimainkan olehnya dan juga beberapa film lainnya seperti My Sexy Teacher. Film Korea ini cukup lucu dan seru. Karena mengandung humor dan juga aksi-aksi beladiri yang seru. Selain SHIN Yun-Jun, pemain lainnya juga adalah pemain yang cukup terkenal. Namun saya lupa mereka bermain di film apa saja. http://blog-indonesia.com/blog-archive-3651-19.html

Komentar :

Resensi yang ditulis oleh Echa yang berprofesi sebagai Consultant of ISO ini, sangat cocok dibaca secara santai karena tulisannya yang ringan. Dalam penyampaian isi cerita film sudah baik. Terlebih dengan disertakan pula nama-nama pemain filmnya sehingga memudahkan pembaca untuk mengimajinasikan jalan cerita film tersebut dari pengalaman sang artis di film-film sebelumnya. Akan tetapi, akan menjadi lebih baik lagi apabila keterangan semacam itu dimasukkan kedalam profil film. Pencantuman rating film dirasa cukup inovatif. Penulis bermaksud untuk meyakinkan pembaca menonton film ini sesegera mungkin. Beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan yaitu pada sisi amanat film yang tampaknya masih luput dari perhatian penulis. Film dibuat dengan tujuan untuk menyampaikan aspirasi, menunjukkan realitas, serta menyadarkan penonton akan suatu hal yang belum diketahui. Dalam film mr.kim vs mr.kim vs mr.kim, pesan yang harus disampaikan penulis yaitu bahwa setiap individu diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sehingga kita harus mensyukuri nikmat tersebut dan menjadi percaya diri akan kemampuan diri sendiri. Selain itu, suatu hal yang tradisional janganlah dipandang sebagai sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman. Hal-hal yang tradisional justru menjadi awal keberhasilan di masa mendatang. Satu hal lagi yang kurang dari resensi ini adalah kehadiran durasi film yang seharusnya di cantumkan di profil film. Terlihat sepele, namun bagi pembaca hal ini dirasa perlu guna membantu pembaca mengalokasikan waktu menonton film dengan kegiatan yang lainnya. Menurut saya secara keseluruhan, resensi yang dibuatnya masih kurang sempurna.

Posted by: beibitta | May 29, 2010

Feature Kebudayaan

Pathok Negara

Pernahkah Anda umat muslim mencoba beribadah di salah satu masjid pathok negara? Atau malah tidak mengetahui apakah itu masjid pathok negara? Bisa-bisa Anda salah sangka terhadap masjid yang satu ini. Masjid pathok negara berjumlah lima buah. Tiap pathok negara ini didirikan di atas tanah bebas pajak pemberian Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat. Fungsi masjid pathok negara selain menjadi pusat kegiatan umat muslim juga sebagai benteng pertahanan ketika kraton diserang pasukan VOC.

Sudah ada bayangankah seperti apa rupanya? Kebetulan masjid ini terletak tidak jauh dari rumah saya dan berjarak sekitar 9 kilometer dari kraton Yogyakarta. Cukup menyusuri jalan beraspal sepanjang Minomartani, setelah itu Anda akan melintasi daerah Plosokuning. Setelah mengamati kiri-kanan saya, daerah Plosokuning memang banyak terdapat pesantren. Terbayang suasana ketika ramadhan tiba, pasti ramai suara orang mengaji. Sebelum mencapai masjid pathok negara, terlihat pula papan reklame yang menunjukkan arah perumahan islami. Memasuki masjid ini terasa agak mistis. Bagaimana tidak, jika Anda datang kemari akan dijumpai komplek pemakaman di sebelah barat masjid. Tampak bangunan semacam joglo dengan nuansa hijau kraton yang dikelilingi kolam ikan. Awalnya saya berpikir kolam ini hanya untuk hiasan semata. Ternyata dibangunnya kolam ini memiliki makna. Menurut ensiklopedi Kraton Yogyakarta, kolam dengan kedalaman 3 meter ini bermakna bahwasanya manusia diharuskan menuntut ilmu sedalam-dalamnya seperti 2 kolam di depan masjid ini. Terlihat kuno bukan berarti masjid ini tidak terawat. Di dalamnya, barisan shaf ditata berjajar secara rapih. Lantai masjidnya pun telah berkeramik sehingga terkesan bersih dan moderen. Pada momen-momen tertentu, keluarga kraton melaksanakan kegiatan keagamaan, seperti bukhorenan. Tradisi ini terus lestari hingga sekarang. Maksud diadakannya kegiatan ini adalah untuk mengkaji ajaran dan tuntutan Nabi dengan membaca dan memahami hadist-hadist dalam Sahih Bukhari.

Apabila liburan tiba, mengunjungi masjid-masjid pathok negara yang ada di Yogyakarta bisa menjadi alternatif tempat kunjungan wisata Anda. Suasana di tiap masjid pun tidak akan sama karena arsitektur masjid satu dengan lainnya menyimpan keunikannya sendiri. Dengan begitu, tidak hanya batin dan rohani saja yang terpuaskan mata Anda juga akan dihibur dengan pemandangan di dalam dan sekitar masjid. Semoga wawasan kita akan budaya semakin bertambah sehingga tumbuh rasa nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa Indonesia.

Older Posts »

Categories